EDUFREN
Belajar itu Seru dan Menyenangkan

Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi

Bismillahirrahmanirrahim

Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi

Beberapa hari ini saya sedang membaca sebuah buku yang berisi kisah-kisah inspiratif, dan ada satu kisah di dalam buku itu yang membuat air mata saya menetes, karena menjadi bahan refleksi untuk saya sebagai seorang guru. Betapa kita tidak boleh merendahkan kemampuan seorang murid, betapa kita harus membimbing mereka dengan sebaik-baiknya, menjadikan mereka sebagai seorang anak dengan masa depan yang cerah tidak peduli bagaimana bodoh dan malasnya mereka. Saya ingin menuliskan kembali kisah itu di blog ini, sebagai bahan pengingat saya bahwa seharusnya beginilah sosok guru yang sebenarnya. Dan inilah kisahnya ...

Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi

Tidak Ada Orang yang Tidak Memiliki Kompetensi

Ini sebuah kisah nyata yang terjadi antara seorang guru dan seorang murid. Pada sebuah sekolah, terdapat seorang guru yang selalu tulus mengajar dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menciptakan suasana kelas yang baik bagi para muridnya. Ketika sang guru menjadi wali kelas bagi murid kelas 5 SD, seorang murid tampak selalu berpakaian kotor dan acak-acakan. Murid tersebut merupakan anak yang malas, sering terlambat, dan selalu mengantuk di kelas.

Ketika murid-murid yang lain mengacungkan tangan untuk menjawab pertanyaan dan mengeluarkan pendapat, murid tersebut tak pernah sekalipun mengacungkan tangan. Sang guru mencoba berusaha untuk menyukai murid tersebut tetapi tak pernah berhasil. Entah kapan bermula, sang guru mulai menjadi benci dan antipati terhadap murid tersebut. Ketika pembagian raport pada pertengahan semester, sang guru menuliskan secara gamblang tentang keburukan murid tersebut. 

Pada suatu hari, tanpa disengaja, sang guru melihat catatan raport murid tersebut saat di kelas satu. Dalam raport tersebut dituliskan;
Anak yang ceria, menyukai teman-temannya, ramah, bisa mengikuti pelajaran dengan baik, dan masa depannya penuh dengan harapan.
Sang guru berpikir bahwa catatan tersebut pasti salah tempat, itu pasti catatan raport murid yang lain. Namun, sang guru tetap melanjutkan membaca catatan murid tersebut saat ia di kelas dua;
Kadang-kadang, anak ini terlambat masuk ke kelas karena terus merawat ibunya yang sakit-sakitan.

Dalam catatan raport kelas tiga semester awal ditulis;
Sakit sakit ibu dari anak ini semakin parah. Mungkin karena terlalu letih merawat ibunya, anak ini sering mengantuk di dalam kelas.
Selanjutnya dalam catatan raport kelas tiga semester akhir ditulis;
Ibunya meninggal dunia. Anak ini sangat sedih, terpukul, dan kehilangan harapan.
Dalam catatan raport kelas empat ditulis;
Ayah dari anak ini seperti telah kehilangan semangat hidup. Kadang-kadang ayah dari anak ini melakukan tindakan kekerasan pada anaknya.
Sang guru terhentak oleh rasa pilu yang tiba-tiba menyesakkan dadanya setelah melihat catatan demi catatan raport murid tersebut. Tanpa disadari, air mata menetes di pipinya. Ia telah memberi cap pada murid tersebut sebagai murid pemalas, padahal murid tersebut sedang berjuang bertahan dari nestapa yang begitu dalam.

Mata dan hati sang guru baru terbuka. Selesai jam sekolah, sang guru menyapa murid tersebut;
"Bu guru kerja sampai sore di sekolah. Bagaimana kalau kamu juga belajar mengejar ketertinggalanmu? Kalau ada yang tidak kamu mengerti, nanti Bu guru akan ajarkan"
Untuk pertama kalinya, murid tersebut memberikan senyuman. Sejak saat itu pula, murid tersebut belajar dengan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan dan mengulas pelajaran. Ia melakukan semua ini di bangku kelasnya. Sang guru merasakan kebahagiaan yang tidak terkira ketika murid tersebut mengacungkan tangan di kelas untuk pertama kalinya. Kini, kepercayaan diri murid tersebut mulai tumbuh kembali.

Ketika murid tersebut duduk di bangku kelas enam, sang guru tidak lagi menjadi wali kelasnya. Ketika waktu kelulusan tiba, sang guru mendapatkan selembar kartu dari murid tersebut, yang bertuliskan;
Bu guru baik sekali seperti ibuku. Bu guru adalah guru terbaik yang pernah aku temui
Enam tahun kemudian, sang guru mendapatkan sebuah kartu pos dari murid tersebut. Dalam kartu pos tertulis;
Besok hari kelulusan SMA. Aku sangat bahagia mendapatkan wali kelas seperti Bu guru ketika aku kelas lima. Aku sangat bahagia karena Bu guru sehingga aku bisa kembali belajar dan bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke fakultas kedokteran. Aku sangat bersyukur.
Sepuluh tahun berlalu, sang guru kembali mendapatkan sebuah kartu pos. Dalam kartu pos itu ditulis;
Aku menjadi dokter yang mengerti rasa syukur dan rasa sakit. Aku mengerti rasa syukur karena bertemu dengan Bu guru. Aku pun mengerti rasa sakit karena pernah dipukul oleh ayah.
Aku selalu terkenang Bu guru ketika aku kelas lima. Bu guru seperti dikirim oleh Allah sebagai penyelamat ketika aku sedang jatuh saat itu. Sekarang, aku sudah dewasa dan bersyukur bisa menjadi seorang dokter. Akan tetapi, guru terbaikku adalah wali kelasku ketika aku kelas lima.
Setahun kemudian, yang datang adalah surat undangan. Dalam surat undangan itu ditulis satu baris kalimau;
Mohon duduk di kursi Bunda pada pernikahanku nanti.
Sang guru pun tak kuasa menahan tangis haru dan bahagia

Kesan Kisah ini Untuk Saya

Saat menuliskan kisah ini, kembali air mata tidak berhenti menetes--bahkan saya menuliskan ini masih dalam keadaan mata berarir.
"Kenapa saya mau menjadi seorang guru?"
Lagi-lagi saya bertanya dalam diri saya, ternyata saya ingin menjadi guru karena saya ingin menjadi seseorang yang mampu memberikan kebermanfaatan bagi orang lain, menjadi wasilah ilmu kepada orang lain, dan menjadi seperti sosok Bu guru di kisah ini, Masyaa Allah

Sosok guru di kisah ini memberikan banyak sekali pelajaran untuk saya. Saya masih sering mencap anak-anak seperti di kisah awal Bu guru di cerita ini. Sayangnya, saya tidak berusaha untuk mendalami motif dari kelakuan sang anak dan terkesan memberikan stigma negatif. 

Pernah satu murid, yang saya anggap sangat kurang dibanding teman kelasnya yang lain, saya sudah berusaha untuk sang murid, sampai membelikan buku khusus untuk dia, menelpon orang tuanya, mengajar dia dengan beragam metode, sayangnya semua usaha yang saya lakukan seakan tidak membuahkan hasil. 

Akhirnya saya menyerah, dan membiarkan anak itu naik kelas dengan pengetahuan yang tidak bertambah--ini adalah penyesalan terbesar saya selama karir saya sebagai seorang guru "Menyerah pada potensi anak didik saya"

Lalu apakah saya ingin kejadian ini terulang kembali?

Tentu tidak, di kelas 1 sekarang saya juga dihadapkan dengan beberapa murid yang butuh perhatian ekstra. Di semester genap ini--5 bulan terakhir saya menjadi wali kelas mereka. Saya berazzam untuk memberikan yang terbaik kepada mereka--pengalaman dan kenangan menyenangkan selama berada di dalam kelas. Saya tidak akan menyerah pada satupun dari mereka sebab saya yakin bahwa "Tidak ada orang yang tidak memiliki kompetensi"



Referensi

Basyar, Ibnu. 2018. Dari Kuntum Menjadi Bunga. Depok; Al Qalam

Posting Komentar